Uang adalah salah satu hal terpenting yang dilomba lombakan untuk diraih, tidak hanya di kota saja, tetapi sudah merambah ke pelosok pelosok desa. Uang seperti halnya bola sepak yang ditendang kesana kemari dan diperebutkan antar para pemain. Pernah terdengar dari seorang pemuda yang tidak menerima keadaan sebuah kehidupan desa. "Mak aku mau kerja di kota, biar cepet dapet duit banyak. Di desa susah dapet duit mak". Sungguh sengsara kehidupan di desa yang jauh dari lapangan pekerjaan dan jauh dari ciuman kasih pemerintah.
Sempatkah teman teman berkunjung di sebelah selatan kota solo? daerah wonogiri ataupun gunung kidul?. Saya sarankan sempatkanlah menjenguk kesana. Daerah wonogiri termasuk kawasan karst gunung sewu yang sudah lama kesulitan mendapatkan air. Jangan heran jika di samping setiap rumah rumah biasanya dihiasi sebuah bak bundar yang besar dan tinggi. Bak ini digunakan sebagai tandon air dikala musim hujan, dan digunakan sebagai tandon air dari PDAM selama musim kemarau.
Beruntung jika truk tangki PDAM bisa masuk ke desa, tapi sangat disayangkan tidak semuanya rumah warga desa memiliki akses jalan yang bisa dilalui sebuah truk. Jangankan sebuah truk, motor saja sangat sulit menjangkau naik turunnya jalan berbatu wonogiri. Selain keadaan dimana sarana transportasi sangat tidak memadai, letak desa yang jauh dari kota, apalagi yang bisa dilakukan?
seorang ibu yang sedang mengambil air, sumber solopos.com
Setiap penyakit ada obatnya, dan pastinya masalah yang diberikan oleh Tuhan YME pasti ada pemecahannya. Warga desa dengan segala keterbatasannya hanya bisa mengumpulkan tetes demi tetes air dari sebuah akar pohon. Mereka rela mengantri untuk mendapatkan beberapa jerigen demi memenuhi kebutuhan air setiap harinya. Kebutuhan mandi, makan, minum, ladang dan hewan ternak bukan tidak memerlukan air yang sedikit kan?.
Beberapa dari desa di daerah wonogiri sudah mendapatkan bantuan pemerintah. Contohnya saja di desa Sumber Agung yang sudah berhasil memanfaatkan air sungai bawah tanah di gua Seban dan Songo. Sebelum diangkat menggunakan pompa sumersible seperti sekarang ini, dahulu para simbah simbah hanya berbekal peralatan sederhana menggunakan bambu bambu sebagai pijakan menuruni gua vertikal 100 meter kedalam perut bumi. Dengan resiko jatuh dari ketinggian 70 meter, mereka menapaki bambu satu ke bambu lain menuju sumber air di dalam gua.
lumpur adalah salah satu kendala kami - foto by Lurah Solo, GiriBahama
Mereka tidak dibayar, mereka tidak ingin diberi tepuk tangan, tidak juga sebuah pujian, hanya sebuah rasa ingin bertahan. Bertahan dengan kelestarian alam sekitar, saling menjaga dan mengerti. Jauh dari sorot politik di negeri ini yang semakin busuk, jauh dari ciuman penjilat yang mengejar uang haram. Mereka tetap berusaha dan mencoba melestarikan alam sekitar, berharap air yang berada di bawah telapak kaki mereka tetap mengalir lancar. Tetapi banyak kelakuan dari warga sekitar yang sangat disayangkan, "buang sampah sembarangan". Sangat disayangkan kebiasaan membuang sampah sembarangan masih saja membudaya di negeri ini. Tidak di kota tidak di desa, semua sama saja.
kami kotori air kami - foto by Lurah Solo, GiriBahama
Sampah sampah plastik, bungkus sampho, sabun mandi, menyambut dengan senyum kotornya. Keterbalikan fakta bahwa air merupakan kebutuhan utama penduduk desa disekitar gua Njenggung. Peran dari pemerintah dan pemerhati lingkungan sangat diperlukan untuk memberikan penyuluhan penyuluhan. Penduduk desa belum begitu paham jika sampah sampah yang mereka buang sembarangan sedikit demi sedikit di mulut gua Njenggung tersebut bisa menyebabkan tersumbatnya aliran sungai bawah tanah. Selain itu juga bisa mencemari sumber air yang berada dibawahnya.
Berbagai masalah sepele bermunculan, dengan berkedok menambah lapangan pekerjaan, pembangunan, dan alasan meningkatkan pendapatan daerah di Wonogiri. Sangat disayangkan bahwa pemerintah berencana mendirikan pabrik semen yang sudah jelas akan mengancam sumber kehidupan mereka. Kawasan karst gunung sewu memang menyimpan bahan baku semen yang melimpah, dan diramalkan tidak habis jika ditambang selama 100 tahun. Tidak diragukan lagi banyak investor yang akan menanamkan modal untuk mendirikan pabrik semen di wonogiri.
Buaian uang berwarna merah seratus ribuan tak membelokan tekad mereka untuk terus melestarikan lingkungan sekitar. Ditemani warga sekitar, Lurah desa pucung, Wonogiri pun terjun langsung dalam pembangunan bendungan di gua Suruh. Mewujudkan impian teman teman yang sudah mendata gua Suruh 9 tahun lamanya. Mewujudkan mimpi warga agar bisa menikmati air mengucur di keran depan rumahnya. Dan tidak lelah lagi menunggu air yang tak kunjung datang.
warga desa dalam pembuatan bendungan di gua suruh - foto by Lurah Solo,
GiriBahama
Sekali lagi mereka tidak membutuhkan tepuk tangan dan pujian, walaupun gempuran gonjang ganjing pabrik semen yang terus membayang tidak akan mematahkan semangat mereka. Sebuah bagian kecil dari masyarakat daerah wonogiri yang jauh dari ciuman kasih pemerintah, mencoba mengumpulkan tetes tetes kehidupan dari perut bumi. Menerjang resiko tinggi bergelantungan di seutas tali. Mereka adalah pahlawan yang sesungguhnya bagi anak, istri dan desanya.
Nasehat bagi yang suka membuang buang air bersih untuk keperluan yang tidak penting di rumah. Sekarang cobalah berpikir jika kita berada di posisi mereka? Dengan sehari atau beberapa hari hidup di sana pastinya kita akan mengetahui seberapa penting air bagi kelangsungan hidup manusia. Walaupun hanya segayung, segelas, ataupun setetes akan sangat berharga jika kita mengetahui cara mendapatkannya.
Itulah sedikit cerita untuk menggugah dan membuka mata dari sudut pandang berbeda, semoga sukses pengangkatan air di gua suruh. Hanya lewat tulisan tulisan seperti ini saya bisa membantu, semoga ada pihak pemerintah yang membaca tulisan ini dan mau sedikit memberikan bantuan. amienn...
Video pengangkatan air di gua suruh "seteguk air seteguk harapan" by Lurah Solo
Video pengangkatan air di gua suruh "seteguk air seteguk harapan" by Lurah Solo
sumber video: Giribahama Ums
...keep solo caver